Sabtu, 05 Maret 2011

Hell on Earth


Prom Nights from Hell (paranormal prom stories by five extraordinary authors)


Gabe memandang ke seberang lantai dansa dan mengernyit. Ia tak yakin
mengapa ia mengajak Celeste ke pesta prom, dan misteri juga bagaimana
Celeste bisa mengiyakan ajakannya. 

Lebih misterius lagi sekarang, melihat
pegangan erat Celeste di sekeliling leher Heath McKenzie sehingga mungkin
Heath kini kesuliatan bernapas. 

Sosok mereka semakin menyatu ke dalam
kerumunan orang-orang yang mengumpul begitu mereka bergoyang melawan
alunan musik, mengacuhkan irama lagu yang mendentam di ruangan. 

Tangan Heath menjelajahi gaun putih berkilau Celeste dengan menggebu.

“tidak beruntung ya, Gabe.”

Gabe mengalihkan pandangannya dari teman kencannya yang sedang
mendekati temannya.

“Hey, Bry. Mengalami malam yang menyenangkan ya?”

“Lebih baik darimu, teman, lebih baik darimu.” Bryan menjawab sambil
tersenyum lebar. 

Ia mengangkat cangkir hijaunya untuk sebuah toast. 

Gabe menyentuhkan botol minumannya ke cangkir Bryan dan menghela napas.
“Aku sama sekali tak tau kalau Celeste tertarik pada Heath. 

Memang siapa Heath?Mantannya atau sesuatu semacamnya begitu?”

Bryan meneguk minumannya yang terlihat menyeramkan, memasang
ekspresi mukanya, dan menggelengkan kepalanya. 

“Setahuku sama sekali tidak
ada apa-apa. Aku bahkan tak pernah melihat mereka berbicara satu sama lain
sebelum malam ini.”

Keduanya menatap Celeste, yang kini terlihat kehilangan sesuatu yang ia
butuhkan di dalam mulut Heath.

“Huh,” ucap Gabe.

“Mungkin karena pengaruh minuman.” Ucap Bryan sebagai usaha untuk
menghibur.

“Aku tak tahu berapa banyak orang yang berhasil melawan efek
minumannya, tapi ouch. Ia mungkin bahkan tak sadar kalau bukan kamu pria
yang sedang bersamanya.”

Bryan meneguk lagi minumannya dan memasang air muka lain.
“Kenapa kau minum itu?” Tanya Gabe kencang-kencang.

*********

Bryan mengangkat kedua bahunya. “Aku tak tahu. Mungkin musinya akan
mulai terdengar sedikit tidak lebih menyedihkan setelah aku meminum habis
segelas minuman ini.”

Gabe mengangguk, “Telingaku takkan pernah memaafkanku. Aku
seharusnya membeli iPod baru.”

“Aku penasaran dimana Clara. Apa ada sebuah hukum atau semacam
peraturan yang menyatakan kalau anak perempuan menghabiskan beberapa
persentase waktu dari setiap acara yang mereka ikuti dengan ke kamar mandi
bersama-sama?”

“Ya. Hukuman kaku bagi gadis yang tidak ke kamar mandi sesuai
persentase waktu yang diharuskan.”

Bryan tertawa, namun kemudian senyumnya memudar dan ia dengan
gugup memainkan jarinya dengan dasi kupu-kupunya sejenak. “Tentang
Clara...” ia memulai.

“Kau tak harus berkata apapun.” Gabe meyakinkannya. “ia gadis yang
menakjubkan. Dan kalian berdua sempurna untuk satu sama lain. Aku pasti
buta kalau aku bilang tak melihat kecocokan kalian.”

“kau benar-benar tak keberatan?”

“aku yang menyuruhmu untuk mengajaknya ke prom kan?”

“yeah. Sir Galahad justru menyuruhku mengajak gadis lain. Serius nih, apa
kau bahkan tak memikirkan dirimu sendiri?”

“tentu saja, setiap jam. Dan hey, ngomong-ngomong tentang Clara... dia
harus mengalami malam yang menyenangkan sekarang atau aku akan
mematahkan hidungmu.” Gabe menyeringai dengan senyuman lebar. “Dia dan
aku masih berteman baik—jangan pikir aku takkan menelfonnya untuk
mengecek.”

Bryan memutar kedua bola matanya, tapi kemudian ia agak kesuliatan
untuk menelan ludahnya. Jika Gabe Christensen ingin mematahkan hidungnya,
ia takkan mengalami kesulitan sama sekali untuk benar-benar melakukannya—
Gabe tidak keberatan bila tinjunya memar atau rekor permanennya ternodai
jika itu berarti membenarkan sesuatu yang terlihat salah baginya.

“Aku akan menjaga Clara,” ucap Bryan, berharap kata-katanya tak
terdengar seperti sebuah sumpah. Ada sesuatu tentang Gabe dan mata biru
menusuknya yang membuarmu merasa—seperti melakukan yang terbaik yang
kau bisa di setiap tugas yang diberikan. Kadang-kadang terasa mengganggu

****************

memang. Dengan sebuah seringai, Bryan membuang sisa minumannya ke
tanah mati yang menjadi tempat tumbuhnya pohon ficus palsu. “Kalau saja ia
keluar dari kamar mandi.”

“Pria yang baik.” Ucap Gabe meyakinkan, tapi senyumnya menurun
kebawah di satu sisi. Celeste dan Heath telah benar-benar menghilang ke
dalam kerumunan.

Gabe tak yakin apa protokolnya apabila kau dibuang oleh pasanganmu di
prom. Bagaimana ia bisa yakin kalau Celeste pulang dengan selamat? Apa itu
menjadi tugas heath sekarang?

Gabe kembali bertanya-tanya mengapa ia mengajak Celeste ke prom.
Ia gadis yang sangat cantik. Rambut pirang yang sempurna—begitu berisi
dan tebal—mata lebar cokelatnya, dan bibir berlekuknya yang selalu berwarna
pink yang merayu. Tidak hanya bibirnya saja yang berlekuk. Ia memiliki
segalanya dan ia tengah mengendalikan pikirannya dengan gaun tipis berkilau
yang ia kenakan malam ini.

Penampilannya bukanlah alasan Gabe memperhatikannya, walau begitu.
Alasannya sama sekali bukan karena penampilan fisik Celeste.
Benar-benar bodoh dan memalukan, sungguh. Gabe tak akan pernah,
sekalipun memberitahu siapapun tentang ini, tapi setiap saat, Gabe merasakan
perasaan aneh yang mengatakan kalau seseorang membutuhkan pertolongan.
Membutuhkan dirinya. Gabe merasakan adanya tarikan yang tak dapat
dijelaskan dari Celeste, seolah-olah dibalik sosok sempurna berambut pirang
itu, ada seorang gadis bersembunyi di dalam kesedihan, entah dimana di balik
riasan sempurnanya.

Benar-benar bodoh. Dan seutuhnya salah. Celeste sepertinya tidak
tertarik pada petolongan apapun dari Gabe sekarang.

Gabe memeriksa lantai dansa sekali lagi tapi tak dapat menemukan
rambut emas milik gadis itu di keramaian. Ia menghela napas.

“Hey, Bry, kau merindukannku?” Clara, dengan rambut gelap keritingnya
yang penuh dengan glitter, melonjak bebas dari sekelompok anak perempuan
dan bergabung dengan mereka di balik dinding. Sisa-sisa dari kelompok anak
perempuan itu memisahkan diri dan berpencar.

“Hey, Gabe. Dimana Celeste?”
Bryan meletakkan lengannya di sekeliling pundak Clara. “Aku kira kau
telah pergi. Jadi aku harus membatalkan rencana hebatku yang baru saja aku
buat dengan—“

****************

Sikut Clara tepat mengenai Bryan di jaringan oro perutnya.
“Mrs. Frinkle,” Lanjut Bryan, terengah-engah dengan kata-katanya dan
mengangguk ke arah wakil kepala sekolah yang menatap marah melalui sudut
ruangan yang paling jauh dari speaker. “Kita akan membetulkan kesalahankesalahan
pada cahaya lilin-lilin yang ada.”

“Well, aku tak akan mau melewatkannya! Aku rasa aku tadi melihat
pelatih Lauder di bagian kue. Mungkin aku bisa bicara padanya mengenai
beberapa tambahan hutang pull-ups.”

“Atau mungkin kita bisa berdansa.” Usul Bryan.
“Tentu. Aku bisa melakukannya.”

Sambil tertawa, mereka masuk ke dalam lantai dansa, tangan Bryan
melingkari pinggang Clara.

Gabe merasa senang karena Clara tidak menunggu jawaban atas
pertanyaannya. Agak memalukan baginya untuk mengatakan kalau ia tidak
mempunyai pasangan.

“Hey, Gabe, dimana Celeste?”

Gabe menyeringai dan menoleh ke arah suara Logan.
Logan juga sedang sendirian saat itu. Mungkin teman kencannya sedang
beralih ke kebiasaan gadis-gadis untuk berkumpul dan berkelompok.

“Aku tak bisa bilang,” Gabe mengakui, “Apa kau telah melihatnya?”

Logan mengerutkan bibirnya sejenak, seolah ia sedang bertebat dengan
dirinya sendiri apakah ia akan bilang atau tidak. Ia menjalankan tangannya
dengan gugup menelusuri rambut hitam elastisnya. “Well, aku rasa tidak. Aku
tak benar-benar yakin... ia mengenakan gaun putih, benar?”

“Ya—dimana dia?”

“Aku rasa aku tadi melihatnya di lobi. Tapi belum tentu benar.Wajahnya
agak sulit untuk kulihat.... wajah David Alvarado benar-benar menutupi seluruh
wajahnya....”

“David Alvarado?” Ulang Gabe terkejut. “Bukan Heath McKenzie?”
“Heath? Tidak. Tadi itu benar-benar David.”

Heath adalah pemain gelandang, berambut pirang dan cerah. David
hampir tidak setinggi 6 kaki; penampilannya berwarna seperti buah zaitun dan
rambutnya hitam. Tak mungkin sulit membedakan keduanya.

Logak menggelengkan kepalanya dengan sedih. “Maaf, Gabe. Kau sedang
sial.”

******************

“tak perlu khawatir.”

“Setidaknya kau bukan satu-satunya orang yang terjebak dengan
kumpulan pria tak berpasangan.” Ucap Logan dengan putus asa.
“Benarkah? Apa yang terjadi dengan pasanganmu?”

Logan mengangkat kedua bahunya. “Ia di sekitar sini entah dimana,
memperhatikan semua orang. Ia tak ingin berdansa, ia tak ingin bicara, ia tak
ingin minum, ia tak ingin di foto, dan ia tak ingin aku menemaninya.

” Ia menjentikkan setiap hal negatik yang ia sebutkan dengan jarinya. 

“Aku tak tahu kenapa dari awal ia mengajakku. Mungkin ia hanya ingin memamerkan
gaunnya—gaunnya sangat keren, aku akui kepadanya. Tapi ia sepertinya sama
sekali tak peduli untuk memamerkan apapun sekarang... aku berharap aku
mengajak gadis lain kemari.” Mata Logan tinggal dengan iba ke sekolompok
gadis-gadis yang menari dengan cepat di area bebas pria. Gabe pikir, ia bisa
melihat kalau Logan hanya fokus menatap seorang gadis.

“Kenapa tak aku ajak Libby?”

Logan menghembuskan napas. “Aku tak tahu. Aku pikir... aku pikir ia
mungkin akan mau kalau kuajak. Oh, sial.”

“siapa pasangan kencanmu?”

“Gadis baru itu, Shebba. Ia sedikit terlalu bersemangat tapi ia benar-benar
menakjubkan, agak eksotis. Aku terlalu terkejut untuk mengatakan apapun
kecuali mengiyakan ajakannya ketika ia mengajakku untuk pergi ke prom
dengannya. Aku pikir ia, well, kupikir ia mungkin saja... menyenangkan....,”

Logan menyelesaikan perkataannya dengan pincang. Apa yang benar-benar ia
pikirkan ketika Sheba memintanya membawanya ke prom sepertinya bukan
sesuatu yang pantas diucapkan keras-keras, terutama untuk Gabe; banyak hal
sepertinya tidak pantas di sekitar Gabe. Kebalikannya dengan Sheba. 

Ketika ia melihat gaun kulit berwarna merah yang menghanyutkan pikirannya,
pikirannya langsung penuh dengan berbagai pikiran yang entah bagaimana
tidak pantas sementara mata gelap gadis itu fokus menatapnya.

“Aku pikir aku tak pernah bertemu dengannya.” Ucap Gabe, menyela
fantasi singkat Logan.

“Kau pasti ingat kalau kau pernah.” Walau Sheba melupakan Logan
dengan cukup cepat begitu mereka tiba di depan pintu, “Hey, kau pikir
mungkinkah Libby datang kemari sendirian? Aku tak dengar kalau ada
seseorang mengajaknya...”

*****************

“Er, ia datang dengan Dylan.”

“Oh,” Ucap Logan, sangat kecewa. Kemudian ia setengah tersenyum.
“Malam cukup buruk tanpa dikurung oleh semua hal lain—bukankah
seharusnya ada band disini? DJ ini...”

“Aku tahu. Seolah-olah kita tengah dihukum atas dosa-dosa kita.” Ucap
Gabe sambil tertawa.

“Dosa? Seolah kau punya dosa, Galahad yang suci.”

“Apa kau bercanda? Aku hampir tak menyelesaikan hukuman skorsku
tepat waktu untuk bisa datang ke acara malam ini.”Tentu saja, saat itu Gabe
berpikir kalau waktunya tak begitu membantunya. “Aku beruntung tidak di
drop out.”

“Mr.Reeselah yang mengaturnya. Semuanya tau kok.”

“Ya, ia yang melakukannya.” Ucap Gabe, tiba-tiba nada tajam ia tekankan
di ujung katanya. Semua orang di sekolah bersikap waspada terhadapa
Mr.Reese, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan hingga guru matematika itu
melewati batas yang tak seharusnya ia lakukan. Seluruh murid kelas 3 juga tau
mengenai Mr.Reese, tapi hanya Gabe yang tak bisa diam saja melihat
Mr.Reese menguntit murid kelas 1 yang tak tau apapun sama-sekali itu... Tapi
tentu saja, merubuhkan seorang guru agak sedikit keterlaluan. Mungkin ada
beberapa jalan yang lebih baik untuk menangani situasi ini. Orang tuanya
mendukungnya meski begitu, seperti biasanya.

Logan menyela pikirannya. “mungkin kita harus pergi dari tempat ini.”
Ucap Logan.

“Aku merasa jahat—bagaimana kalau Celeste butuh tumpangan untuk
pulang...”

“Gadis itu bukan tipemu, Gabe.” Ie benar-benar seorang iblis—dan
seorang wanita murahan, Tambah logan, tapi itu bukan kata-kata yang ingin
kau ucapkan ketika kau ada di sekitar area pendengaran Gabe. “Biar saja ia
mendapat tumpangan pulang dari pria yang menempelkan lidahnya di
tenggorokannya.”

Gabe menghela napas dan menggelengkan kepalanya. “Aku akan
menunggu untuk memastikan kalau ia baik-baik saja.”

Logan mengerang. “Aku tak percaya kau mengajaknya. Well, bisakah kita
pergi sebentar keluar untuk mengambil beberapa CD setidaknya? Kemudian
kita bisa membajak musik-musik jelek yang diputar DJ itu...”

******************

“aku suka cara pikirmu. Aku penasaran apakah supir limo tidak keberatan
dengan trip singkat...”

Logan dan Gabe berakhir dengan argumen dan saling mengejek mengenai
cd paling baik untuk dibawa—lima terbaik benar-benar hebat, tapi darisitiu,
sisanya agak bersifat subjektif—keduanya menikmati waktu mereka lebih baik
daripada sepanjang sore mereka sebelumnya.

Tadi itu lucu sekali, tapi sembari keduanya bercanda, Gabe memiliki
perasaan kalau merekalah satu-satunya yang sedang menikmati waktu
menyenangkan. Semua orang di ruangan sepertinya tengah mengerutkan dahi
karena sesuatu. Dan di ujung sudut dekat kue-kue tidak menarik, sepertinya
ada seorang gadis sedang menangis. Bukankah itu Evie Hess? Dan gadis lain,
Ursula Tatum, juga memiliki mata merah dan maskara yang menodai wajahnya
bersamaan dengan air matanya. Mungkin musik dan minumannya bukanlah
satu-satunya yang menyebalkan di prom. Clara dan Bryan terlihat senang, tapi
selain keduanya, Gabe dan Logan—keduanya yang baru saja dihina dan ditolak
oleh teman kencan mereka—sepertinya menikmati waktu mereka sendiri lebih
daripada orang-orang lain.

Lebih tidak peka dari Gabe, Logan sepertinya tak menyadari atmosfer
nefatif yang ada hingga Libby dan Dylan mulai berdebat; dengan kasar. Libby
meninggalkan lantai dansa. Hal itu menarik perhatiannya seketika.

Logan memindahkan beban tubuhnya, matanya menempel pada sosok
Libby yang pergi. “Hey, Gabe, apa kau keberatan kalau aku meninggalkanmu?”
“Tidak sama sekali. Kejarlah.”

Logan hampir berlari cepat untuk mengejarnya.
Gabe tak yakin apa yang akan ia lakukan dengan dirinya sendiri sekarang.

Apakah ia harus mencari Celeste dan menanyakan apakah ia keberatan atau
tidak jika Gabe pergi? Ia tak benar-benar setuju dengan ide untuk
meminjamnya sebentar dari orang lain hanya untuk bertanya, walau begitu.

Ia memutuskan mengambil sebotol lain air dan mencari sudut paling
tenang untuk menunggu sepanjang malam hingga prom selesai.

Dan kemudian, sembari mencari sudut paling tenang, Gabe merasa
adanya tarikan kuat aneh lagi, lebih kuat dari yang pernah ia rasakan sepanjang
hidupnya; seperti seseorang sedang tenggelam di air berwarna hitam dan
berteriak minta tolong kepadanya. Gabe memperhatiakn sekitarnya dengan
gelisah, bertanya-tanya darimana panggilan darurat itu berasal. Ia tak bisa

********************

mengerti, ujung kasar dan sangat berbahaya dari kesedihan ini. Sama sekali
berbeda dengan apa yang ia pernah rasakan sebelumnya.

Untuk sementara waktu, matanya terkunci pada seorang gadis—di balik
punggungnya, karena gadis itu sedang berjalan menjauh darinya. Rabut gadis
itu hitam dan berkilau, dengan cahaya kemilau yang seperti cermin. Ia
mengenakan gaun sepanjang lantai spektakuler dengan warna seperti api.

Sembar Gabe memperhatikan, anting gadis itu berkilau seeskali, seperti cahaya
merah kecil.

Gabe mulai berjalan mengejarnya dengan gerakan yang hampir tak sadar,
dipengaruhi oleh tarikan kuat di sekitar gadis itu yang mengatakan kalau ia
membutuhkan pertolongan Gabe. Gadis itu agak berbalik, dan Gabe bisa
melihat sedikit dari wajah tak dikenal yang pucat—bibir penuh berwarna putih
gading dan alis hitam yang miring—sebelum gadis itu merunduk ke kamar
mandi wanita.

Gabe hampir kesulitan bernapas dalam usahanya untuk menahan diri agar
tak mengikuti gadis itu ke area-bebas-pria. Ia dapat merasakan betapa
butuhnya gadis itu akan pertolongannya seperti pasir hisap yang menariknya
kuat. Ia mencondongkan badannya di balik dinding dari kamar mandi, melipat
kedua lengannya erat-erat di dadanya, dan berusaha berbicara pada dirinya
sendiri untuk menunggu gadis itu keluar. Insting gila yang ia rasakan sekarang
terlalu kelewat batas. Bukankah Celeste merupakan bukti dari kegilaan
instingnya? Semuanya hanya imajinasinya. Mungkin ia harus pergi sekarang.
Tapi Gabe tak bisa memaksakan kakinya untuk bergerak satu langkah saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar